Bagi kita yang sudah pernah dan terbiasa berjuang menuntut
kesejahteraan di sebuah perusahaan, atau di berbagai aksi kawasan atau
aksi mogok nasional sudah biasa pula bagi kita melihat keberpihakan
negara (pemerintah, aparat, pengadilan, dll) terhadap klas
pengusaha/pemilik modal, sebagaimana penjelasan diatas. Tetapi
pernyataan ini bukanlah berarti bahwa mayoritas klas buruh sudah
memahami bahwa perjuangan klas buruh juga harus melakukan perjuangan
untuk merebut kekuasaan negara yang dikuasai oleh klas pemilik modal.
Gerakan kaum buruh yang dipimpin oleh serikat buruh, biasanya hanya
menekankan tentang perjuangan ekonomi, yaitu perjuangan yang hanya
menuntut sebagian isu atau sebagian tuntutan klas buruh. Mayoritas klas
buruh pun masih belum paham bahwa akar dari penindasan yang dialaminya
saat ini akarnya bersumber dari sistem ekonomi kapitalisme yang
dijalankan. Untuk memahami ini, kita harus memahami soal-soal ekonomi
politik, dan sejarah perjuangan klas.
Bahwa dalam setiap masyarakat ber-klas, seperti halnya dalam
masyarakat kapitalisme, pertentangan klas adalah sesuatu yang tak dapat
dihindari. Sejak kapitalisme lahir (lebih dari 300 tahun lalu)
pertentangan antara buruh dan pengusaha telah dimulai. Dari perlawanan
sendiri-sendiri, hingga akhirnya membangun perlawanan bersama dalam
sebuah organisasi sekerja yang dikenal dengan nama serikat buruh.
Biasanya penindasan di tempat kerja dan “perjuangan ekonomi” di tempat
kerja (perbaikan upah,kondisi kerja, dll) yang dilakukan oleh buruh di
masing-masing perusahaan menjadi motor penggerak lahirnya sebuah serikat
buruh di masing-masing perusahaaan. Kesadaran bahwa semakin bersatu
buruh akan menjadi lebih kuat, dan adanya kesadaran sebagai sesama klas
buruh, mendorong terbangunnya persatuan-persatuan sesama buruh. Ini
mendorong terbentuknya penyatuan serikat-serikat buruh sektoral (sering
dikenal dengan federasi), atau persatuan serikat buruh lokal/teritorial,
atau gabugannya menjadi konfederasi serikat buruh. Bahkan persatuannya
terjadi hingga antar negara (federasi/konfederasi internasional).
Sementara klas-klas tertindas lainnya: kaum tani, pedagang kecil,
nelayan dan rakyat miskin lainnya, juga menghadapi penindasan yang sama
seperti yang dialami klas buruh. Seperti halnya klas buruh, klas-klas
ini pun berjuang hanya memperjuangkan kepentingan kaumnya. Misalnya kaum
tani berjuang untuk merebut tanah yang dirampas negara (misalnya
perhutani) atau oleh pemilik-pemilik modal (pengusaha tambang, hutan,
perkebunan dsb), nelayan yang menuntut subsidi BBM, pedagang kecil yang
menolak penggusuran atau perjuangan rakyat miskin lain dalam aksi-aksi
menuntut hak-hak ekonomi sesuai dengan masing-masing kepentingan ekonomi
kelompoknya. Masing-masing kelompok klas tertindas ini membangun
organisasi perjuangannya masing-masing: serikat tani, nelayan, pedagang
kaki lima, rakyat korban penggusuran dan lainnya.
Perjuangan ekonomi, perjuangan menuntut kesejahteraan sejatinya
tidaklah akan pernah tercapai selama akar dari penindasan itu sendiri
yaitu sistem ekonomi kapitalisme tidak dihapuskan. Sederhananya, kita
dapat saksikan bagaimana perjuangan menuntut upah minimum yang layak
setiap tahunnya terus terjadi. Karena kenaikan upah sebesar apapun akan
diiringi dengan kenaikan harga dan munculnya kebutuhan-kebutuhan sosial
lainnya, sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Kenaikan upah
menjadi tidak ada artinya dibandingkan dengan kenaikan harga dan
kebutuhan sosial lainnya. Demikianlah sistem kapitalisme berjalan, ia
akan menyesuaikan diri atas kenaikan upah yang terjadi pada buruh.
Kesejahteraan dan keadilan bagi buruh dan rakyat banyak tidak akan dapat
tercipta dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Oleh karena itu, perjuangan ekonomi atau perjuangan menuntut
kesejahteraan yang telah dilakukan oleh gerakan serikat buruh haruslah
dikembangkan dan menjadi sebuah perjuangan politik. Yaitu perjuangan
untuk melancarkan perebutan kekuasaan politik: pemerintahan, parlemen,
dan akhirnya perebutan siapa yang menguasai negara. Menggantikan
penguasa negara yang sebelumnya dikuasai oleh klas pemilik modal, dengan
DIRINYA SENDIRI (klas buruh dan rakyat mayoritas lainnya). Dititik
inilah sebenarnya kaum buruh (dan rakyat pekerja lainnya) mulai membuat
perhitungan sejati dengan klas penindasnya selama ini.
Dengan dikuasainya negara oleh buruh dan rakyat pekerja, maka
berbagai kebijakan yang dihasilkan akan berkebalikan dengan situasi saat
ini. Sederhananya saja, ketika negara dikuasai oleh buruh maka upah
buruh akan dinaikkan, tidak boleh ada PHK, jam kerja dikurangi tanpa
pengurangan upah sehingga semua orang mendapatkan pekerjaan, sistem
kerja kontrak dan outsourcing akan dihapuskan, seluruh
kebutuhan-kebutuhan sosial (pendidikan sampai perguruan tinggi, pensiun,
kesehatan: baik pencegahan maupun pengobatan, perumahan, perawatan
anak, taman bacaan, internet dan sebagainya) yang semula menjadi barang
dagangan (harus dibeli) dirubah menjadi hak yang harus dapat dinikmati
oleh semua orang tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Seluruh
sumber-sumber kekayaan alam (migas, tambang, hasil hutan dan laut) dan
sektor vital untuk rakyat banyak akan menjadi milik negara rakyat
pekerja. Pengusaha yang menolak dan melakukan perlawanan seperti lock-out misalnya,
bukan saja berhadapan dengan negara melainkan akan berhadapan dengan
rakyat. Kaum buruh pastinya, akan siap menjalankan perusahaan-perusahaan
yang tidak mau dijalankan pemilik modal. Akhirnya sistem ekonomi pun
secara bertahap diubah menjadi sistem ekonomi yang lebih berkeadilan
sosial, berpihak ke rakyat banyak dan bukan ke segelintir orang. Sistem
ini sering disebut dengan sistem sosialisme, (yang sebenarnya jika
membaca sejarah perjuangan kemerdekaan dankonstitusi UUD 45 kita, sistem
inilah yang menjadi cita-cita kemerdekaan: mensejahterahkan kehidupan
rakyat, dan membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat). Semua hal
yang digambarkan diatas sebenarnya sering digaungkan dengan
slogan/yel-yel; “BURUH BERKUASA, RAKYAT SEJAHTERA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar