Sabtu, 21 Februari 2015

"KAUM BURUH MENGHADAPI DENGAN KAUM KAPITALIS ATAU IMPERIALISME"

Menjelang May Day, gerakan buruh dihadapkan lagi untuk merefleksi dirinya sendiri. Sudah sampai mana pencapaian yang telah diraih sejak May Day tahun lalu? Kemana kita akan melangkah? Artikel-artikel pun bermunculan untuk memeriahkan May Day tahun ini: ada yang hanya bersifat seremonial, yakni sebatas mengutuk kapitalisme dan mengobarkan rasa juang, dan ada juga yang bersifat reflektif, menganalisa situasi ekonomi dan politik sekarang dan mencoba memberikan perspektif ke depan.

Salah satu artikel reflektif ini adalah editorial PAPERNAS “Kaum Buruh Menghadapi Imperialisme” yang menyimpulkan bahwa gerakan buruh harus mengutamakan perjuangan nasional (kebangsaan) melawan imperialisme namun tanpa berarti mentolerir eksploitasi kapitalisme bangsa sendiri.
Sebelum kita menelaah benar atau tidaknya kesimpulan tersebut, ada baiknya kita kembali lagi ke dasar-dasar Marxisme mengenai apa itu imperialisme. Dalam pengertian sehari-hari yang dangkal, imperialisme didefinisikan sebagai penjajahan terhadap negara-negara terbelakang, dari jaman kolonial dan terus berlanjut hingga jaman sekarang dalam bentuk penjajahan ekonomi ataupun intervensi-intervensi militer yang masih kita saksikan di Afghanistan, Irak, Libya, dst.
Namun ketika prioritas perjuangan melawan imperialisme ini dipertentangkan dengan perjuangan melawan kapitalisme lokal – dalam kesimpulan PAPERNAS perjuangan melawan imperialisme diutamakan tanpa berarti mentolerir eksploitasi kapitalisme lokal – maka pengertian dangkal tersebut tidak lagi memadai dan kita harus kembali ke Lenin dan karya besarnya “Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme”.
Imperialisme timbul sebagai sebuah tahapan dari perkembangan kapitalisme dimana monopoli kapitalis menjadi karaktersitik dominan dibandingkan kompetisi bebas. Monopoli, yang lahir dari kompetisi bebas, tidak menghilangkan dengan sepenuhnya kompetisi bebas, tetapi eksis di atasnya dan oleh karenanya menimbulkan kontradiksi-kontradiksi yang akut di dalam kapitalisme. Lenin menjabarkan lima karakter utama dari imperialisme:
  1. Konsentrasi produksi dan kapital yang telah berkembang sedemikian rupa sehingga menciptakan monopoli-monopoli,
  2. Merger antara kapital perbankan dengan kapital industri, yang menjadi kapital finansial.
  3. Ekspor kapital menjadi lebih penting daripada ekspor komoditi
  4. Pembentukan perusahaan-perusahaan kapitalis internasional yang membagi dunia di antara mereka sendiri
  5. Pembagian teritori dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis besar telah selesai, dan yang terjadi sekarang hanyalah pembagian ulang (redivision)
Dari sini kita bisa melihat kalau definisi dangkal imperialisme tidaklah keliru; ia hanya tidak lengkap. Di dalam buku tersebut, Lenin juga menyerang Karl Kautsky yang juga mendefinisikan imperialisme dengan sempit: “Di dalam imperialisme, setiap negara kapitalis industrialis berusaha menaklukkan atau menjajah semua daerah agraria [baca bangsa-bangsa terbelakang].” Lenin membantah definisi sempit Kautsky ini. “Imperialisme adalah dorongan untuk menjajah – ini adalah aspek politik dari definisi Kautsky. Ini benar, tetapi sangat tidak lengkap.” Selain itu, Lenin mengatakan bahwa imperialisme “berusaha bukan hanya untuk menjajah daerah-daerah agraria, tetapi bahkan daerah-daerah yang sangat industrialis.” Jadi imperialisme bukan hanya mengenai penjajahan yang dilakukan negara-negara ‘besar’ terhadap negara-negara ‘kecil’. Perang Dunia Pertama dan Kedua dimana Jerman, sebagai negara kapitalis yang baru muncul di Eropa, mengobarkan perang untuk menjajah negara-negara Eropa lainnya adalah satu contoh jelas mengenai watak imperialisme yang sesungguhnya.

Upah murah, ketidakpastian kerja (lewat sistem kontrak dan outsourcing serta PHK), dan ketiadaan jaminan sosial kerja merupakan masalah yang tiap harinya bersentuhan dengan buruh Indonesia. Masalah ini berhubungan erat dengan masalah-masalah lain yang ada pada rakyat mayoritas. Seluruh rakyat berhadapan dengan kebutuhan hidup yang tinggi, ketiadaan lapangan pekerjaan, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, dll, yang semakin menyebabkan buruh maupun rakyat mayoritas sulit untuk hidup sejahtera, apalagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaannya (belajar, berkesenian,bersosial) sebagai manusia.
Pada saat yang sama, ada sebagiankecil masyarakat yang hidup mewah, berkecukupan, bahkan tidak perlu mengeluarkan keringat setetes pun, uang terus mengalir ke brankas mereka. Mereka adalah para pemilik perusahaan/pemilik modal, dimana perusahaannya sendiri seringkali bahkan bukan dijalankan oleh dirinya, melainkan oleh para direktur dan manajer yang diupah tinggi. Mereka juga menguasai bank-bank, pertambangan, industri (pabrik dan jasa), menguasai industri media (TV dan Koran), dan menguasai seluruh barang-barang konsumsi dan kebutuhan hidup sosial manusia lainnya.
Penggolongan masyarakat tersebut (golongan mayoritas: rakyat bekerja keras-hidup sulit & golongan minoritas: para pemilik modal, tidak bekerja-hidup mewah, dan menguasai serta mengatur kehidupan masyarakat) merupakan hasil dari pembagian masyarakat dalam sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme, sebuah sistem ekonomi dimana kapital (modal, kekayaan) dan pemiliknya menjadi “Tuhan-Tuhan” baru yang diciptakan dan menjadi penguasa dunia saat ini. Seluruh kebutuhan sosial manusia/masyarakat (makan, pakaian, rumah, sekolah, kesehatan, transportasi, kesenian, bahkan agama, dsb) diubah menjadi barang dagangan dan dikuasai oleh para pemilik modal. Yang tidak mampu membeli tidak bisa mendapatkannya. Bahkan seluruh nilai-nilai luhur budaya (solidaritas, saling berbagi, tolong menolong dan sebagainya) dihancurkan dan digantikan dengan nilai-nilai baru yang semuanya diukur dengan uang, harta dan kekayaan (menjadi barang dagangan yang harus dibeli). Jadi pembagian klas yang terjadi di masyarakat bukanlah karena nasib yang ‘memang begitu adanya’, bukan juga karena dunia sudah dibagi menjadi dua klas sebagaimana adanya siang-malam, baik-buruk, kaya-miskin, dst, melainkan terbentuk dari sistem ekonomi yang dijalankan.
Sistem ekonomi-politik kapitalisme dilahirkan, dibentuk, dan lalu dipertahankan oleh pihak-pihak yang diuntungkan oleh sistem itu, yaitu para pemilik kapital/modal. Sebagai contoh para pengusaha/pemilik modal yang bersikeras mempertahankan sistem kerja kontrak dan outsourcing atau menolak upah layak. Ini bukan karena mereka tidak tahu kalau buruh tidak sejahtera, tapi karena hanya dengan cara seperti inilah mereka dapat menumpuk keuntungannya dan pada akhirnya dapat mempertahankan sistem kekuasaan modal ini berjalan.

Di sisi lain klas buruh berkepentingan untuk mendapatkan kesejahteraan. Kepentingan ini jelas bertentangan dengan kepentingan para pemilik modal. Perbedaan kepentingan (antara buruh dan pengusaha) ini merupakan gambaran paling sederhana dan paling jelas bagaimana dalam suatu masyarakat terdapat golongan-golongan yang saling bertentangan kepentingannya, baik secara ekonomi, maupun secara politik. Penggolongan masyarakat dalam ekonomi-politik inilah yang disebut sebagai“klas-klas”. Dimana dalam sistem ekonomi kapitalisme, alat-alat produksi (pabrik, tanah, teknologi dll), yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan sosial masyarakat justru dikuasai oleh pribadi-pribadi, atau segelintir orang dan bukan menjadi milik sosial (Negara rakyat).

Lebih hebatnya lagi, para pemilik modal ini kemudian juga aktif dalam politik, mendirikan partai politik nya ataupun menjadi penyokong utama partai-partai politik ini. Akhir dari semua aktivitas politik ini berikutnya mereka pun dapat menguasai parlemen(DPR/DPRD), dan menguasai pemerintahan. Dengan menguasai pemerintahan dan parlemen, maka seluruh kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah dan parlemen (DPR/DPRD) dapat dipastikan merupakan cermin dari kepentingan dari para pemilik modal ini. Ditambah lagi, agar sukses dijalankannya kebijakan ini, perangkat-perangkat dukungan pun dipersiapkan: dari mulai kampanye palsu (alasan kenapa kebijakan tersebut yang diambil), hingga perangkat kekerasan negara (polisi, tentara, pengadilan dan penjara). Sederhananya, negara pun akhirnya dikuasai oleh mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar