Selasa, 29 September 2015

"Buruh bukan saja berbicara upah saja" bag.2

ANALISa...

1.Isu Buruh Semasa Rezim Habibie
Di bawah Pemerintahan B.J. Habibie. Lima isu-isu besar yang dihadapi oleh Habibie, yaitu (1) Masa depan reformasi ; (2) Masa Depan ABRI ; (3) Masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia; (4) Masa depan Soeharto keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya ; (5) Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.Tujuh belas (17) bulan kemudian isu pertama menunjukkan perkembangan positif. Isu ke dua mengarah pada  pengurangan peranan militer di bidang politik. Isu ketiga terselesaikan dalam konteks Timor-Timur namun tidak pada daerah lain, isu ke empat belum terselesaikan dan isu kelima tetap tidak terpecahkan.[24] Masalah perburuhan masuk isu ke lima.

Masalah perburuhan belum berhasil dituntaskan oleh Habibie pasca dia dilantik menjadi presiden. Isu perburuhan yang sempat menggoyang pemerintahan Habibie adalah aksi penolakan terhadap rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (RUU PPK) menjadi undang-undang (UU), Barangkali kesimpulan yang diambil pemerintah mengenai penolakan buruh terhadap UU No 25/1997 adalah karena buruh belum siap. Padahal, substansi persoalannya adalah materi undang-undang tersebut belum menyentuh upaya perlindungan hak-hak buruh secara memadai, bahkan merugikan. Dengan demikian, menjelang akan berlakunya undang-undang ini di masa Presiden BJ Habibie, buruh dan masyarakat kembali melancarkan penolakan berlakunya.Kebijakan yang dipilih Presiden Habibie adalah mengeluarkan UU No 11/1998, yang menunda berlakunya UU No 25/1997 menjadi mulai tanggal 1 Oktober 2000.[25]

Selain itu, isu ratifikasi 9 Konvensi Perburuhan yang dikeluarkan oleh International Labour Organization (ILO), yang salah satunya menekankan hak kebebasan berserikat (Freedom of Association/Konvensi ILO No. 9 Z) bagi kaum buruh.. Masih terkait ratifikasi, isu yang sempat menghangat juga adalah isu hak buruh untuk berunding (Collective Bargaining No. 9 G) yang sebenarnya telah diratifikasi semasa Soekarno tahun 1957  juga diangkat kembali. Di kalangan buruh sendiri isu ratifikasi konvensi hak buruh berserikat dan konvensi hak buruh berunding  ini ditanggapi pesimis karena dianggap hanya sebagai jargon politik Habibie untuk menarik perhatian dari kaum buruh.[26]

Di sisi lain, ada kebijakan Habibie yang cukup positif terhadap kaum buruh yaitu  buruh mendapatkan keleluasaan untuk mendirikan organisasi atau perserikatan buruh. Tidak  seperti masa Soeharto, organisasi buruh saat itu yang diperkenankan hidup cuma satu yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) tetapi pada masa Habibie ini puluhan organisasi buruh berdiri bahkan ada satu organisasi buruh yang membentuk partai agar bisa ikut Pemilu Juni 1999. Yang menarik adalah keputusan peninjauan ulang yang dilakukan Habibie atas Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, hal ini menimbulkan reaksi negatif dikalangan buruh dan NGO karena tidak mencerminkan aspirasi dan kepentingan kaum buruh.[27]

Semasa pemerintahan Habibie ini, ada momen yang cukup mengejutkan juga ketika Habibie membebaskan tokoh pemimpin buruh yang dipenjara semasa Orde Baru, yaitu Muchtar Pakpahan.[28] Pada pembebasannya, Pakpahan mendesak Habibie untuk mengumpulkan boneka-boneka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memilih seorang presiden peralihan. Seperti burjuis oposisi lainnya, Pakpahan mendesak bahwa semua tuntutan untuk reformasi harus dibatasi dalam cara bekerja politis yang sempit.Pakpahan juga mengusulkan kepada Habibie untuk pembentukan sebuah partai buruh (labour party).  Namun, hanya beberapa hari setelah membebaskan Muchtar Pakpahan, pemerintah Habibie membuat larangan kepada badan serikat buruh yang telah dikepalai Pakpahan selama 6 tahun, yaitu Serikat Buruh Sejahtara Indonesia (SBSI).[29]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar