Selasa, 29 September 2015

"Menuju bekasi 1 2017,buruh bukan sekedar bicara upah saja" bag.1

Perjuangan Gerakan Buruh Tidak Sekedar Upah saja,

Kenaikan upah menjadi isu yang selalu melekat ketika terjadi aksi mogok kerja serikat buruh di Indonesia pasca reformasi. Isu ini seolah-olah menjadi isu tunggal yang diperjuangkan kaum buruh ketika aksi mogok, aksi blokade jalan, ataupun aksi demonstrasi. Kata “Buruh” dan “Upah” seakan-akan melekat satu sama lain definisi dan maknanya, berbicara buruh dikonotasikan berbicara masalah upah sehingga pemerintah dan publik sering terjebak dalam kesempitan isu ketika berbicara tentang buruh.[1] Asumsi tersebut meruncing pada relasi isu kebijakan pemerintah dengan kaum buruh hanya sebatas pada masalah Upah Minimum Provinsi/Kabupaten (UMP/UMK). Diakui bahwa kenaikan upah memang menjadi isu strategis yang diperjuangkan kaum buruh tetapi bukan menjadi isu tunggal dari perjuangan gerakan buruh.

Isu kenaikan upah buruh menjadi memanas tatkala harus berhadapan dengan negara dan pasar. Semasa Orde Baru, Kasus Marsinah menjadi titik hitam bagi sejarah politik Indonesia tatkala buruh harus dijadikan tumbal ‘kongkalingkong’ antara negara dan pasar.[2] Marsinah menjadi salah satu saksi bisu kejamnya negara dan pasar dalam membungkam aksi perjuangan kaum buruh di Indonesia tatkala menuntut kenaikan upah sebagai salah satu hak perburuhan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saat itu menjadi representasi negara dalam merepresi kaum buruh, sedangkan asosiasi pengusaha menjadi representasi pasar untuk menekan pemerintah.

Isu perjuangan kaum buruh semasa Orde Baru tidak hanya semata masalah kenaikan upah tetapi perjuangan hak sipil politik atas eksistensi organisasi mereka. Rezim Orde Baru sangat represif atas eksistensi organisasi serikat buruh.[3] Mereka tidak hanya dicap sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI) tetapi juga dianggap sebagai penghambat pembangunan.[4] Aksi mereka sering dimaknai sebagai tindakan subversif melawan negara ketimbang dimaknai sebagai realitas politik demokratis. Pemosisian kaum pemodal sebagai mitra pembangunan Orba menjadi ancaman tambahan bagi nasib kaum buruh. Oligarkisme ekonomi yang di-backing kekuatan militer menjadi sebuah struktur politik yang harus dihadapi oleh serikat buruh saat itu. Oleh sebab itu, isu utama yang diperjuangkan kaum buruh semasa Orba lebih banyak mengarah pada masalah tuntutan hak sipil dan hak politik, yaitu eksistensi dan independensi politik serikat organisasi kaum buruh.

Setelah rezim Orde Baru tumbang dan kran politik diperlebar, organisasi serikat buruh tumbuh berkembang di Indonesia tetapi tantangannya juga makin komplek.[5] Gerakan buruh mulai berani melakukan perjuangan politik secara manifest.[6] Setelah lepas dari kekangan Orde Baru selama hampir 32 tahun, gerakan buruh bangkit lagi dengan memunculkan orientasi dan isu baru agar bisa eksis dalam situasi sosial politik yang baru. Perubahan orientasi dan isu kaum buruh ini mulai nampak tatkala mereka harus berhadapan dengan intervensi pasar yang kian kuat mencengkram negara akibat adanya kian derasnya laju neoliberalisme pasca reformasi. Isu dominan mereka bukan lagi represif negara tetapi lebih mengarah pada tekanan pasar internasional dibawah bendera Multi National Corporation (MNC), World Trade Organization (WTO), dan World Bank. Pasar menjadi musuh nyata gerakan buruh dan pemerintah kian bingung ketika harus melakukan mediasi antara kepentingan buruh dengan pengusaha. Pengusaha dan buruh sama-sama membangun kekuatan dan jejaring politik agar kepentingan mereka bisa terakomodir dalam proses pembuatan kebijakan.

Salah satu prestasi politik awal tuntutan buruh pasca reformasi di ranah kebijakan publik yaitu dikeluarkannya Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang cukup menjadi ancaman serius bagi pengusaha dalam undang-undang tersebut adalah tentang sanksi yang akan diberikan oleh negara kepada perusahaan yang mencoba melanggar ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP).  Pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan UMP dianggap sebagai pelaku kejahatan dengan ancaman sanksi penjara dari satu hingga empat tahun dan denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp 400 juta.UMP yang ditetapkan merupakan gaji pokok bagi pekerja yang masih belum menikah dan punya masa kerja 0-12 bulan.[7]

Masalahnya akhir-akhir ini setelah 15 tahun reformasi, gerakan buruh seakan-akan dilihat hanya sebagai kumpulan massa pragmatis yang hanya berjuang menuntut kenaikan upah saja ketimbang gerakan yang punya root ideologi dan platform politik. Asumsi ini akan dicoba dibuktikan oleh tulisan ini dengan berangkat dari pertanyaan dasar, apakah gerakan buruh sekarang sudah pragamatis orientasi isu gerakannya, yaitu hanya sekedar memperjuangkan masalah kenaikan upah ataukah serikat buruh sekarang justru mengembangkan orientasi isu gerakannya yang tidak hanya sekedar perjuangan isu kenaikan upah? Oleh sebab itu, menarik sekali untuk melacak beragam isu yang sebenarnya diperjuangkan oleh gerakan buruh pasca reformasi. Oleh sebab itu, tulisan ini akan mengangkat tema isu apa saja yang diperjuangkan serikat buruh pasca reformasi di Indonesia.

Untuk menjawab masalah tersebut penulis lebih menggunakan pendekatan  kualitatif. Populasi penelitian gerakan buruh di Indonesia, sedangkan sampel penelitiannya adalah  gerakan buruhyang berdomisili di Jabotabek dan Surabaya. Para narasumber dipilih berdasarkan purposive sampling. Data-data primer digali dengan wawancara mendalam, Focus Group Discussion, dan observasi. Kemudian, data-data sekunder digali dengan telaah literatur, dokumentasi, dan fotografi. Untuk menggali data yang lebih dalam penulis akan melakukan live in di lingkungan subyek penelitian. Analis data dilakukan melalui tahap : koleksi, klasifikasi, kategorisasi, kodifikasi, dan interprestasi.

Dari pemikiran,
Berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar