Jika ditelusuri lebih jauh mengenai kenaikan UMK 2015 memang ada kenaikan dari tahun 2014.Tp berbanding terbalik dengan kebutuhan primer para buruh untuk memperbaiki keadaan ekonomi di jaman sekarang.Setelah kena imbas kenaikan harga BBM per november 2014 dan penambahan subsidi BBM di awal januari ini yg semula Rp8500 menjadi Rp 7.250.Makin jelas kehidupan buruh biayanya membengkak.Harga kebutuhan pokok terlanjur naik, transportrasi pun juga naik dll.Dan kebijakan tersebut untuk harga kebutuhan tdk mungkin turun lagi..??...
Apakah BBM benar-benar di Subsidi pemerintah???
ataukah hanya spekulasi,agar pemikiran masyarakat berempati kpd Pemerintah???...
BBM ttap saja naik???.
"Tiap Menit, Harta Miliarder Dunia Bertambah Rp 6 Miliar"
Jakarta, KSPI – Kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin terus
melebar dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, laporan terbaru lembaga amal
internasional Oxfam menyebutkan, terdapat 85 miliarder dapat menambah
kekayaan hingga US$ 668 juta atau Rp 8,08 triliun per hari. (kurs:
Rp12.093/US$)
“Artinya, harta 85 miliarder tersebut bertambah US$
500 ribu atau Rp 6,05 miliar per menit,” ungkap Direktur Eksekutif
Oxfam Winnie Byanyima dalam laporannya seperti dikutip dari CNBC, Senin (3/11/2014),
Pada Januair, Oxfam menerbitkan laporan yang menyoroti kekayaan 85
orang terkaya di dunia. Jika dikumpulkan, harta seluruh miliarder
tersebut setara dengan kekayaan setengah populasi penduduk termiskin di
dunia.
“Jauh dari perannya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi,
kesenjangan ekstrim merupakan hambatan kesejahteraan bagi sebagian
besar penduduk di dunia,” ujar Byanyima.
Menurutnya, kesenjangan
antara penduduk kaya dan miskin, tingkat korupsi, peluang yang terbatas
dapat menekan diskriminasi khususnya terhadap wanita.
Laporan Oxfam itu ditujukan untuk mendorong para pemimpin dunia membantu penduduk kelas bawah mendapatkan perlakuan yang adil.
“Dibutuhkan kerjasama internasional dan dari orang-orang terkaya dunia untuk mengatasinya,” tandas sang direktur.
"Matematika dan Politik Subsidi BBM"
Seminggu setelah Presiden Joko Widodo disahkan menjadi presiden ketujuh
RI, persoalan subsidi bahan bakar minyak menunggu di depan mata.
Kekeliruan nasional dalam mengelola pemerintahan agar tampak populis
pada periode sebelumnya, telah meninabobokan rakyat dengan sangat tidak
produktif.
Albertus adalah buruh nelayan di Nusa Tenggara Timur
yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Tempat kerjanya
hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Ia naik kendaraan umum dua
kali sebulan untuk belanja.
Karena tergolong miskin, ia mendapat
bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sampai Rp 200.000 per bulan. Ia
dan tiga anaknya juga mendapat bantuan untuk iuran Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) per orang Rp 19.225 sehingga total per keluarga mendapat
hampir Rp 100.000 per bulan. Hitung-hitung, ia mendapat subsidi Rp
300.000 per bulan.
Ada lagi Ahmad, tukang ojek di kota Bekasi. Ia
merasa beruntung memiliki sepeda motor bekas dan bisa mengojek dengan
penghasilan bersih rata-rata Rp 40.000 per hari, atau sekitar Rp 1,3
juta per bulan.
Ia tidak termasuk penerima PKH atau mendapat
bantuan iuran JKN. Ia menghabiskan bensin rata-rata 2 liter sehari. Jika
dihitung-hitung, ia mendapat subsidi BBM Rp 12.000 per hari atau
sekitar Rp 300.000 per bulan. Maka kalau harga bensin naik, berat
baginya.
Lalu ada Yasin di Bekasi satu dari sekitar delapan juta
penduduk berusia di atas 60 tahun yang tidak memiliki penghasilan. Dulu,
ia masih menikmati hasil sawahnya. Kini, sawahnya sudah menjadi
perumahan. Ia tinggal di rumah setengah permanen dan sangat bergantung
pada belas kasih anak-anaknya. Ia tidak menikmati subsidi BBM sama
sekali.
Suparjo adalah pengusaha kecil yang sukses. Ia, istri,
dan dua anak remajanya menikmati empat mobil bagus. Sebagai pengusaha,
ia tergolong tidak peduli tepat tidaknya subsidi BBM.
Ia membeli
bensin yang lebih murah, premium. Sehari, rata-rata, ia sekeluarga
membeli 50 liter bensin. Jika besar subsidi per liter Rp 6.000, keluarga
Suparjo menerima subsidi BBM 50 x Rp 6.000 = Rp 300.000 per hari.
Sebulan, keluarga Suparjo menerima Rp 300.000 x 30 atau Rp 9 juta.
Daniel dan Heryawan adalah pegawai Pertamina dan pegawai PLN. Keduanya
menikmati gaji dan tunjangan lain-lain Rp 12 juta per bulan. Ia juga
menikmati tunjangan hari raya (THR) hampir Rp 20 juta. Keduanya juga
menerima bonus tantiem yang lumayan besar dari keuntungan Pertamina Rp
32 triliun tahun 2014 dan laba PLN Rp 12 triliun semester pertama tahun
lalu.
Mengapa Pertamina dan PLN mendapat laba besar dan
karyawannya bergaji besar dengan bonus dan tunjangan yang besar pula?
Ini karena kedua BUMN menyerap dana subsidi energi yang mencapai Rp 400
triliun tahun ini.
Akar masalah
Entah apa yang salah di
negeri ini. Subsidi BBM dianggap keharusan. Baik DPR maupun pemerintah
sama-sama memaksakan subsidi. Dalam 10 tahun terakhir, besar subsidi BBM
sudah menghabiskan Rp 3.000 triliun lebih.
Selalu saja alasannya
kenaikan harga BBM memberatkan ekonomi rakyat. Seolah belanja atau
beban ekonomi rakyat hanya untuk BBM. Padahal, semua rakyat makan nasi,
tetapi beras tidak disubsidi. Semua rakyat pasti sakit, minimum sekali
dalam hidupnya, tetapi hanya sebagian kecil yang dijamin pengobatannya.
Semua anak harus bersekolah, tetapi meski seharusnya pendidikan gratis,
ada saja biaya yang dibebankan kepada rakyat. Petani dan nelayan harus
membeli kebutuhan rutin seperti beras, lauk-pauk, baju, pupuk, bibit,
dan bahkan air. Angkutan umum tidak disubsidi. Padahal, jika 10 persen
saja dana subsidi diberikan untuk kereta api, semua orang bisa gratis
naik kereta.
Di India, Sri Lanka, Tiongkok, Vietnam, dan
Thailand, BBM sama sekali tidak disubsidi. Harga bensin dan solar di
negeri itu Rp 12.000-Rp 16.000 per liter. Toh, produk-produk pertanian
ataupun industri dari negeri berlimpah di Indonesia. Artinya, daya saing
industri dan bisnis tidak kalah. Sebaliknya, hasil tani dan hasil
industri Indonesia di negeri-negeri itu nyaris tidak ditemukan.
Jargon subsidi BBM memberatkan industri dan rakyat hanyalah akal-akalan
mereka yang selama ini menikmati subsidi puluhan triliun: industri
mobil, industri minyak, dan industri energi.
Keberanian menghilangkan subsidi BBM dalam tiga tahun mendatang merupakan solusi terbaik mengoreksi kekeliruan subsidi.
Subsidi seharusnya diberikan untuk beras, pupuk, bibit, pembuatan kapal
nelayan, waduk-waduk, membangun angkutan kereta api kota dan antarkota,
membangun pelabuhan, membangun jalan, iuran jaminan kesehatan, biaya
sekolah, buku, baju seragam sekolah, serta transpor ke sekolah dan
perguruan tinggi.
Hasbullah Thabrany
Kepala Center for Health Economics and
Policy Studies, Universitas Indonesia
by
ADMIN
sumber http://www.kspi.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar