Jumat, 02 Januari 2015

"CATATAN KECIL BURUH DENGAN GAJI UMK"

Jika ditelusuri lebih jauh mengenai kenaikan UMK 2015 memang ada kenaikan dari tahun 2014.Tp berbanding terbalik dengan kebutuhan primer para buruh untuk memperbaiki keadaan ekonomi di jaman sekarang.Setelah kena imbas kenaikan harga BBM per november 2014 dan penambahan subsidi BBM di awal januari ini yg semula Rp8500 menjadi Rp 7.250.Makin jelas kehidupan buruh biayanya membengkak.Harga kebutuhan pokok terlanjur naik, transportrasi pun juga naik dll.Dan kebijakan tersebut untuk harga kebutuhan tdk mungkin turun lagi..??...
Apakah BBM benar-benar di Subsidi pemerintah???

ataukah hanya spekulasi,agar pemikiran masyarakat berempati kpd Pemerintah???...
BBM ttap saja naik???.

"Tiap Menit, Harta Miliarder Dunia Bertambah Rp 6 Miliar"

Jakarta, KSPI – Kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin terus melebar dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, laporan terbaru lembaga amal internasional Oxfam menyebutkan, terdapat 85 miliarder dapat menambah kekayaan hingga US$ 668 juta atau Rp 8,08 triliun per hari. (kurs: Rp12.093/US$)
“Artinya, harta 85 miliarder tersebut bertambah US$ 500 ribu atau Rp 6,05 miliar per menit,” ungkap Direktur Eksekutif Oxfam Winnie Byanyima dalam laporannya seperti dikutip dari CNBC, Senin (3/11/2014),
Pada Januair, Oxfam menerbitkan laporan yang menyoroti kekayaan 85 orang terkaya di dunia. Jika dikumpulkan, harta seluruh miliarder tersebut setara dengan kekayaan setengah populasi penduduk termiskin di dunia.
“Jauh dari perannya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, kesenjangan ekstrim merupakan hambatan kesejahteraan bagi sebagian besar penduduk di dunia,” ujar Byanyima.
Menurutnya, kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, tingkat korupsi, peluang yang terbatas dapat menekan diskriminasi khususnya terhadap wanita.
Laporan Oxfam itu ditujukan untuk mendorong para pemimpin dunia membantu penduduk kelas bawah mendapatkan perlakuan yang adil.
“Dibutuhkan kerjasama internasional dan dari orang-orang terkaya dunia untuk mengatasinya,” tandas sang direktur.

"Matematika dan Politik Subsidi BBM"

  Seminggu setelah Presiden Joko Widodo disahkan menjadi presiden ketujuh RI, persoalan subsidi bahan bakar minyak menunggu di depan mata. Kekeliruan nasional dalam mengelola pemerintahan agar tampak populis pada periode sebelumnya, telah meninabobokan rakyat dengan sangat tidak produktif.
Albertus adalah buruh nelayan di Nusa Tenggara Timur yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Tempat kerjanya hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Ia naik kendaraan umum dua kali sebulan untuk belanja.
Karena tergolong miskin, ia mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sampai Rp 200.000 per bulan. Ia dan tiga anaknya juga mendapat bantuan untuk iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per orang Rp 19.225 sehingga total per keluarga mendapat hampir Rp 100.000 per bulan. Hitung-hitung, ia mendapat subsidi Rp 300.000 per bulan.
Ada lagi Ahmad, tukang ojek di kota Bekasi. Ia merasa beruntung memiliki sepeda motor bekas dan bisa mengojek dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 40.000 per hari, atau sekitar Rp 1,3 juta per bulan.
Ia tidak termasuk penerima PKH atau mendapat bantuan iuran JKN. Ia menghabiskan bensin rata-rata 2 liter sehari. Jika dihitung-hitung, ia mendapat subsidi BBM Rp 12.000 per hari atau sekitar Rp 300.000 per bulan. Maka kalau harga bensin naik, berat baginya.
Lalu ada Yasin di Bekasi satu dari sekitar delapan juta penduduk berusia di atas 60 tahun yang tidak memiliki penghasilan. Dulu, ia masih menikmati hasil sawahnya. Kini, sawahnya sudah menjadi perumahan. Ia tinggal di rumah setengah permanen dan sangat bergantung pada belas kasih anak-anaknya. Ia tidak menikmati subsidi BBM sama sekali.
Suparjo adalah pengusaha kecil yang sukses. Ia, istri, dan dua anak remajanya menikmati empat mobil bagus. Sebagai pengusaha, ia tergolong tidak peduli tepat tidaknya subsidi BBM.
Ia membeli bensin yang lebih murah, premium. Sehari, rata-rata, ia sekeluarga membeli 50 liter bensin. Jika besar subsidi per liter Rp 6.000, keluarga Suparjo menerima subsidi BBM 50 x Rp 6.000 = Rp 300.000 per hari. Sebulan, keluarga Suparjo menerima Rp 300.000 x 30 atau Rp 9 juta.
Daniel dan Heryawan adalah pegawai Pertamina dan pegawai PLN. Keduanya menikmati gaji dan tunjangan lain-lain Rp 12 juta per bulan. Ia juga menikmati tunjangan hari raya (THR) hampir Rp 20 juta. Keduanya juga menerima bonus tantiem yang lumayan besar dari keuntungan Pertamina Rp 32 triliun tahun 2014 dan laba PLN Rp 12 triliun semester pertama tahun lalu.
Mengapa Pertamina dan PLN mendapat laba besar dan karyawannya bergaji besar dengan bonus dan tunjangan yang besar pula? Ini karena kedua BUMN menyerap dana subsidi energi yang mencapai Rp 400 triliun tahun ini.
Akar masalah
Entah apa yang salah di negeri ini. Subsidi BBM dianggap keharusan. Baik DPR maupun pemerintah sama-sama memaksakan subsidi. Dalam 10 tahun terakhir, besar subsidi BBM sudah menghabiskan Rp 3.000 triliun lebih.
Selalu saja alasannya kenaikan harga BBM memberatkan ekonomi rakyat. Seolah belanja atau beban ekonomi rakyat hanya untuk BBM. Padahal, semua rakyat makan nasi, tetapi beras tidak disubsidi. Semua rakyat pasti sakit, minimum sekali dalam hidupnya, tetapi hanya sebagian kecil yang dijamin pengobatannya.
Semua anak harus bersekolah, tetapi meski seharusnya pendidikan gratis, ada saja biaya yang dibebankan kepada rakyat. Petani dan nelayan harus membeli kebutuhan rutin seperti beras, lauk-pauk, baju, pupuk, bibit, dan bahkan air. Angkutan umum tidak disubsidi. Padahal, jika 10 persen saja dana subsidi diberikan untuk kereta api, semua orang bisa gratis naik kereta.
Di India, Sri Lanka, Tiongkok, Vietnam, dan Thailand, BBM sama sekali tidak disubsidi. Harga bensin dan solar di negeri itu Rp 12.000-Rp 16.000 per liter. Toh, produk-produk pertanian ataupun industri dari negeri berlimpah di Indonesia. Artinya, daya saing industri dan bisnis tidak kalah. Sebaliknya, hasil tani dan hasil industri Indonesia di negeri-negeri itu nyaris tidak ditemukan.
Jargon subsidi BBM memberatkan industri dan rakyat hanyalah akal-akalan mereka yang selama ini menikmati subsidi puluhan triliun: industri mobil, industri minyak, dan industri energi.
Keberanian menghilangkan subsidi BBM dalam tiga tahun mendatang merupakan solusi terbaik mengoreksi kekeliruan subsidi.
Subsidi seharusnya diberikan untuk beras, pupuk, bibit, pembuatan kapal nelayan, waduk-waduk, membangun angkutan kereta api kota dan antarkota, membangun pelabuhan, membangun jalan, iuran jaminan kesehatan, biaya sekolah, buku, baju seragam sekolah, serta transpor ke sekolah dan perguruan tinggi.

Hasbullah Thabrany
Kepala Center for Health Economics and
Policy Studies, Universitas Indonesia


by
ADMIN
sumber http://www.kspi.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar